CHAPTER 2 : SEMUA SETARA

 "Anggaplah buku adalah teman yang selalu menuntun kita ke jalan yang benar. Dan anggaplah dunia sebagai guru yang selalu memberikan kita ujian untuk terus maju."

-Novel Suramnya Cahaya

 

PERUT Aji berdemo meminta makan. Lapar meraung-raung di lambung. Tetapi, ia masih di dalam kelas. Tak mungkin ia meminta izin ke kantin karena perutnya meminta makan. Sungguh konyol bin Spongebob sekali jika ia melakukannya. Tapi tak perlu khawatir. Aji mempunyai sebuah skill, yaitu selalu bisa mencari Solusi, meski harus berbohong seribu bahasa sekalipun.  

"Kak. Eee… izin. Saya ingin ke toilet." Alasan Aji, tentunya dengan niat terselubung. Kak Osis itu langsung mempersilahkannya pergi. Tidak curiga apapun. Kalau pun ia ke kantin. Apa urusannya? Aji pun berjalan keluar.

 Langit putih menyapa. Lapangan besar menerpa. Terik mentari menerka. Malangnya, Aji tidak tahu dimana kantinnya. Ia memutari sekolah itu dengan perasaan yang campur aduk. Antara kagum dengan sekolahnya dan bingung dimana kantinnya.

fyuhh! Akhirnya Aji menemukannya. Kantinnya berada di paling ujung sekolah ini. Paling ujung. Mungkin sengaja diletakkan jauh dari kelas agar tidak ada murid yang ke kantin saat pelajaran berlangsung. Tanpa basa-basi. Ia pun langsung menerobos gerombolan kakak kelas yang bolos dari pelajaran. Mau jauh atau tidak, yang namanya bolos akan terus melekat di hati.

Kantin penuh dengan keramaian. Sorot mata Aji tertuju kepada 1 siswa mungil dengan beberapa kakak kelas yang tampak tidak mungil.

            "Lah? Itu bukannya bocah sok inggris itu?" Aji bertanya kepada dirinya sendiri. Ia pun mendekat menuju TKP. Benar! Itu adalah bocah sok inggris. Buat apa dia disana?

            “Eh lu. Cepetan kasih gue duit! Lama amat." Ucap seseorang yang didekat bocah itu. Dengan nada layaknya ORMAS menagih uang pedagang dengan dalih keamanan.

Aji pun merasakan firasat yang buruk kepada bocah sok inggris itu. Ia pun mendekat ke tempat bocah itu.

 "WOI! LU BERANI-BERANINYA YA, SAMA GUE!" Seseorang itu sekarang membentak. Kalau didengar-dengar. Bentakannya justru bagai trend tiktok semua diam!

"Woi kalian semua!" Tantang Aji, semua kakak kelas itu langsung tertuju kepada Aji. Seketika ia bagaikan pahlawan kesiangan. Tapi Aji adalah Aji. Tidak lebih dari 2 detik. Hasrat pahlawan itu lenyap ditelan ketakutan. Sial! Sekarang ia menyesali perbuatannya.

 

"Apa lu? Mau jadi jagoan?"

"Eh. Eh. Itu... oh itu anaknya Pak Asep. Kamu dicariin sama bapakmu tadi. Nama kamu Hendra, kan?" Aji mencari alasan. Skill pasifnya aktif. Salman mengangguk. Duitnya sedang ketakutan.

Untung nasib baik berpihak. Kebetulan, Pak Asep adalah guru killer di sekolah ini. Ia adalah guru yang uihhh mengerikannn! Semua murid takut kepada dia, termasuk mereka.

 Kakak kelas itu langsung memberikan uang 2 ribu sebagai permintaan maaf. Sungguh tidak kakak kelas sekali. Uang 2 ribu tak sebanding perlakuannya tadi. Uang 2 ribu yang… hanya bisa dibelikan ciki-ciki yang tak mengenyangkan perut. Lihat! Ada gambar roket pula! Sungguh kreatif sekali orang yang menggambarnya.

"Thank...thank you bro!" Salman memeluk Aji. Pelukan yang amat mendalam. Dihiasi rasa takut yang membara. Tapi untungnya semua itu lenyap. Dimusnahkan oleh keberanian Aji yang cukup rada-rada. Ia sangat berhutang budi kepada Aji.

Aji pun melepaskan pelukannya. Bukan karena ia tidak mau menerima rasa terimakasih. Tapi Aji takut disangka menyukai sesama jenis oleh murid lain. Tidak wajar rasanya sesama laki-laki berpelukan. Penulis pun merasa geli saat menulis bagian itu.

"Udah... udah... sekarang... beli kan gua makanan ya. gua lapar hehe!" Aji mencari kesempatan dalam kesumpekkan.

"Its ok bro. Untuk yang udah menyelamatkan nyawa gua. Apapun akan dikabulkan."

 "Berarti uang 1 quadraliun bisa?"

 "Yes, tapi lu harus korupsi minyak dulu."

Tertawa. Mereka pun segera ke kantin. Lebih tepatnya karena Aji. Ia meminta jatah makanan karena berhasil menyelamatkan duit Salman.

 

****

 

BEL berjoget kencang. Waktu istirahat! Akhirnya, murid-murid dapat keluar dari kelas. Ada yang ke kantin. Ada yang menuju teman SD-nya. Ada pula yang diam di kelas. Lebih tepatnya Aji dan kawan-kawan.

 "Weii bro. Kenalin. He's my friend. Kenalin cepet nama kamu." Salman menyenggol Aji.

"Eh. Halo. Nama gua Aji. Salam kenal yah!" Aji memperkenalkan kepada temannya Salman. Firman mengangguk. Wildan? Ia menahan tawa. Terbayang anak SD yang maju untuk perkenalan.

"Tunggu. Gua dianggap apa dong?"

"Lu gua anggap my enemy." Semua langsung tertawa. Firman cemberut.

"Hahaha! Eh bro. Nama lu siapa?" Salman bertanya kepada seseorang di sebelah Wildan. Ia tampak tak peduli dengan keadaan yang sedang riang-riangnya.

 Seseorang itu langsung menoleh kepada Salman, dengan tatapan yang B aja. "Dafa." Jawabnya dengan datar. Setelah itu ia beranjak dari kursinya dan pergi keluar. Meninggalkan mereka ber-empat.

 "Sombong amat tuh anak." Sindir Aji. Semua mengangguk. Tapi peduli apa? Dafa bukan orang penting di kelompok mereka. Toh mereka juga sudah bertanya. Jika itu jawabannya ya udah. Tak usah pikir panjang. Stoikisme!

 Suara bel sedang berjoget terdengar. Cepat sekali berbunyi. Perasaan baru saja istirahat. Mungkin, di SMP istirahatnya hanya sekejap mata. Atau mungkin? Mereka terlalu banyak bacot sampai lupa waktu.

Murid-murid langsung berlarian ke kelas. Duduk dengan sangat tidak rapi. Ada yang bawa gehu. Ada yang bawa bala-bala. Bahkan ada yang bawa gerobak! Eh maksudnya nampan. Buat apa ia bawa nampan?

"Dek. Kau itu bawa saya punya nampan. Balikin. Ada-ada saja."

"Eh. maaf bi... saking kagetnya saya malah bawa nampan bibi, hehe."

 "Kaget-kaget jangan kau bawa nampan saya punya. Ngerepotin."

 

 "Oh iya sama kau yang bawa gehu. Kau belum bayar. Enak saja kau makan tanpa ada uang. Kau kira saya kasih kau gehu gratis ha?

Murid yang membawa gehu menelan ludah. Ahh sial! Kenapa bibi kantin itu tahu

"CEPAT BAYAR ATAU SAYA TONJOK KAU PAKE NAMPAN INI HA?"

"Eh. Eh. Iya. Iya bi. Ini saya bayar. Ini uangnya" murid itu membayar dengan terpaksa.

"Bagus! Awas saja kau tak bayar gehu saya punya lagi. Kau nanti pulang tinggal di buku yasin."

 "Eh... eh...iya... maaf bi... tadi khilaf."

Bibi kantin itu pergi. Sungguh momen yang unik sekali. Seorang ibu kantin memarahi murid yang tak membayar makanannya. Sungguh kejadian diluar prediksi BMKG.

Aji Ketakutan melihat itu. Bukan karena takut ancaman tinggal di buku yasin. Tapi takut ia ketahuan juga. Sebelum menolong Salman. Aji sempat mengambil 3 buah gehu dan langsung pergi tanpa pamit. Ternyata Aji pun salah satu komplotan pencuri yang bernama diam tak ada yang tahu, bergerak mengambil gehu!

Gehu adalah salah satu makanan masyarakat Sunda yang sangat populer. Umumnya jika di Pusat Ibukota menyebutnya tahu isi. Tetapi di SMPN 1 Pondok Besar menyebutnya gehu. Kenapa? Karena Bibi itu yang memperkenalkan kalau ini gehu.

Bibi kantin itu sebenarnya berasal dari Pulau Sumatera. Tetapi ia pergi merantau ke Kota Kembang karena faktor ekonomi.

Saat sedang bekerja menjadi tukang jahit. Ia diberi satu makanan yang lezatnya macam berkhayal memakan krabby patty. Yaitu gehu. Ia pun mencoba membuatnya di rumah dan jrenggg! Tak enak. Gagal. Macam tahu isi mantan.

Bibi itu lantas bertanya ke tukang masak bagaimana cara membuat gehu. Ternyata untuk membuat gehu ia perlu tahu khusus yang memang untuk gehu. Sedangkan ia malah memakai tahu bulat. Pantaslah ia gagal.

 Setelah itu. Bibi membuatnya lagi dirumah dan berhasil. Ia banting stir menjadi tukang kantin sekolah di Pusat Ibukota—SMPN 1 Pondok Besar. Ia terus mendoktrin semua murid bahwa ini gehu. Bukan tahu isi. Baguslah! Agar semua tahu bahwa itu gehu, bukan tahu isi. Semoga selanjutnya bibi kantin itu mendoktrin murid-murid bahwa ini namanya bala-bala. Bukan bakwan. Penulis dipihak bala-bala.

 Langit cerah terbendung kebisingan. Waktunya pulang! Semua murid pulang pada tempatnya. Aji dan Wildan sudah pasti bersama-sama. Mereka menuju markas besar penitipan motor yang tak diketahui manusia—rumah teman bapak Wildan. Yayan!

 

****

 

MENTARI melompat dari garis cakrawala. Alarm berteriak sangat bising. Aiyyayyaaa tereteteteretet! Wildan bangun dari mimpinya. Ia membuka jendela berkilaunya. Nampak awan putih tak tergerus angin. Langit biru tak terhalang mendung. Mentari kuning berbentuk bola sempurna. Kegiatan MPLS telah selesai. Hari ini adalah pembelajaran efektif. Hari senin. Hari yang sangat membuat bahagia—bagi ODGJ.

"Wildan. Cepetlah kamu mandi. Jangan lama-lama diatas sana. Sekolah sebentar lagi." Cakap ibunya yang sedang memasak di bawah sana. Wildan langsung turun ke bawah. Ia mengambil handuk dan lari ke toilet.

Selesai mandi. Wildan pun segera menuju ke ruang makan. Terlihat daging sapi yang membuat perut meraung-raung karena kelezatannya.

"Bagaimana kegiatan MPLS kamu? Cukup baik? Tidak ada masalah?" Papanya bertanya penasaran

"Ya, Pa. MPLS sungguh menyenangkan. Kita disuruh membawa makanan. tetapi makanannya itu tebak-tebakan. Namanya makanan semen batu bata. Sudah jelas sekali itu bengbeng. Tapi ada yang lucu."

"Apa yang lucu?"

"Aji malah membawa batu bata sungguhan. Lengkap dengan semen roda tiga."

Semua tertawa. Meja makan itu riang dipenuhi kegembiraan.

 "Oh iya. Mana temen kamu si Aji? Tumben belum kesini?

 "Entahlah. Mungkin sebentar lagi dia akan kesini."

10 menit berlalu. Wildan sedang memakai sepatu. Ia memperlambat memakainya karna menunggu Aji yang belum sampai juga.

"Ayo buruan. Papa sebentar lagi mau kerja. Kalau mau berangkat sendiri, silahkan. Papa ga ada waktu lagi."

"Eh. Iya pak. Aku ikut." Wildan dengan terpaksa menuruti papanya. Ia pun langsung pergi tanpa Aji. Kemana Aji? Apakah ia sudah berangkat duluan?

 

****

 

AJI bangun dari kasurnya. Ia melihat jam. Oh masih jam 7. HAH JAM 7? Aji panik bagai orang ketinggalan pesawat.

Aji langsung mandi. Mandi ular. Sabun sekarat ia gosokkan secara asal. Odol sedikit ia masukkan kedalam mulut. Sampo bayi ia taburkan ke rambut. Eh sampo bayi? Alamak! Salah pula! Aji pun menghilangkan sampo bayi dengan air dan langsung mengambil sampo yang benar. Yang pasti sudah sekarat juga. Aji pun keluar tanpa handuk, dengan kata lain, telanjang. Untung saja pembaca tidak bisa melihat secara langsung.

Aji pun makan dengan nasi ditabur garam. Tak sempat memasak. Ibu nya pergi bekerja. Ayahnya sudah lama pergi. Bukan pergi karna selingkuh. Tetapi pergi ke tempat yang jauh untuk bekerja juga.

 Ibu nya adalah seorang pedagang pasar. Ia setiap pagi selalu sudah tiba di pasar. Sedangkan ayahnya bekerja di konstruksi bangunan. Mengurus proyek besar. Tetapi upahnya tidak sebesar proyeknya. Buruh kasar.

Setelah itu Aji langsung memakai dasi yang kusut. Memakai gesper yang longgar. Memakai tas tiada merek. Memakai sepatu tempurnya dan langsung pergi ke—warnet.

Terlambat sekolah di hari senin sama saja cari mati, begitu pikirnya.

 

****

 

 UPACARA bendera pertama angkatan Wildan dan kawan-kawan di SMPN 1 Pondok Besar. Wildan berbaris dengan rapi. Hanya Wildan, sisanya amburadul. Terlihat Para OSIS sedang mengejar siswa yang bolos dari upacara. Lari! Lari! Ada serigala di sini! Ledekan para murid yang berada dilapang kepada siswa yang sedang dikejar tesebut.

 Mentari menggosongkan lapangan. Hari ini sungguh panas. Pidato Pak Kepala Sekolah yang sangat membosankan. Ia hanya berbicara semoga, semoga, dan semoga sekian kalinya. UKS penuh oleh siswa yang sakit dan pura-pura sakit. Terdengar beberapa murid yang terus berceloteh ingin segera beres. Akhirnya semua itu sudah berakhir. Upacara yang melelahkan.

 Seharusnya upacara sudah ditiadakan di masa saat ini. Digantikan dengan kegiatan yang lebih efektif. Kenapa? Karna para generasi sekarang sudah tidak melihat upacara sebagai bentuk perjuangan pahlawan. Tetapi hanya sekedar bentuk formalitas belaka. Pembaca pasti relate dengan kritikan yang penulis sampaikan.

Semua murid memasuki kelas. Jam pertama. Pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran yang bahasanya selalu digunakan sehari-hari. Tapi saat ulangan? Gempar menggelegar.

 Ibu Guru menjelaskan tentang materi-materi yang akan dibahas sepanjang kelas 7. Sesudah itu. Ia menjelaskan tentang literasi generasi sekarang yang malangnya sudah anti buku.

"Zaman sekarang. Anak-anak yang mempunyai buku bisa dihitung oleh jari. Bahkan di Perpustakaan saja, paling hanya ada 8 atau 10 murid yang meminjam buku dalam 2 semester. Sungguh miris sekali."

 "Padahal, membaca buku adalah hal penting di dunia ini. Tetapi generasi sekarang melihat buku itu seperti najis. Ditambah lagi dengan hadirnya kecerdasan buatan yang mempermudah mereka mencari jawaban tanpa harus membolak-balikkan buku."

"Pertanyaan saya. Apakah ada yang tahu mengapa generasi sekarang tidak suka membaca buku, atau kata kasarnya minim literasi? Dan bagaimana meningkatkannnya?"

Isi kelas hening. Tidak ada yang menjawab. Setelah lebih dari 200 milidetik. Ternyata ada yang mengangkat tangan. Terlihat satu murid yang mengangkat tangan. Ia berada di paling kiri jajaran ke 2. Wildan? Bukan, sebelahnya. Dafa lah yang mengangkat tangan.

 

"Baik saya akan menjawab pertanyaan 'mengapa' dan 'bagaimana' dari ibu." Dafa mengehela napas. Posturnya tegak. Ia meluruskan dasi. Sudah macam pengacara saja.

"Ada banyak faktor yang membuat literasi murid sekarang itu minim. Dan yang paling terlihat adalah first impression mereka terhadap buku. Maksudku. Mereka dari awal emang tidak diprogram untuk terus membaca."

Suasana hening. Guru dan para murid kebingungan. Apa maksudnya tidak diprogram untuk terus membaca?

 "Oke jika kalian masih bingung. Sekarang, saya ingin bertanya kepada kalian." Dafa membawa buku paket Bahasa Indonesia.

 "Apakah dari kalian ada yang sanggup membaca buku ini—Buku paket Bahasa Indonesia— dalam 24 jam?" Dafa bertanya. Murid-murid menggeleng. Orang mana yang ingin membaca buku membosankan itu? Bahkan Albert Einstein pun malas membaca buku itu.

Dafa tersenyum misterius. Ia menyimpan kembali buku itu. Setelahnya, ia mengambil buku misterius yang ada didalam tas.

"Oke. Sekarang. Ada yang bisa membaca buku ini dalam 24 jam?" Dafa mengangkat buku itu sembari bertanya. Beberapa murid langsung mengangkat tangan yang berarti sanggup. Disusul dengan angkat tangan lainnya yang entah benar-benar sanggup atau hanya FOMO ingin ikut-ikutan. Hampir semua mengangkat tangan. Yang tidak adalah Wildan. Ia tahu isi buku itu.

Buku itu memiliki sampul yang mencolok, warna biru yang kalem dan elegan, pemandangan laut yang indah, terumbu karang yang cantik, dan para ikan yang lucu. Buku yang menggambarkan keindahan dan persahabatan. Sangat menarik. Apa judul buku itu? Laut Bercerita. Sangat 'indah' sekali. Pantaslah Wildan tidak mau.

 "Jadi... mengapa generasi sekarang itu minim literasi? Karena emang mereka tidak diprogram untuk membaca." Dafa mengulangi pernyataannya tadi. Sekarang semua mengerti.

"Mereka yang koar-koar agar murid-murid tidak minim literasi. Lupa. Bahwa kebiasaan membaca, harus dimulai dari hati." Semua murid mengangguk. Benar. Mereka tidak ingin membaca buku paket. Karna itu tidak seru. Hati mereka menolak membaca.

 

"Terus, bagaimana meningkatkannnya? Zaman telah berubah. Maka struktur dalam buku paket pun harus diubah. Untuk meningkatkan literasi. Perlu ada upaya mengganti pendekatan dari top-down menjadi pendekatan bottom-up. Dari pendekatan deduktif menjadi pendekatan induktif. Dari definisi-contoh menjadi contoh-definisi.

"Saya kasih contoh kalimat dibuku paket sekolah yang memakai pendekatan top-down. 'Saling melengkapi kebutuhan terjadi karena adanya perbedaan SDA setiap wilayah. Contohnya Sukabumi membutuhkan beras Cianjur, dan Cianjur pun membutuhkan ikan air tawar Sukabumi.' Apa yang kalian rasakan? Oohh aja kan? Ya udah, datar, beres, simpel.

"Tapi jika diubah pendekatannya menjadi bottom-up. Seperti 'Sukabumi membutuhkan beras dari Cianjur. Sebaliknya, Cianjur pun membutuhkan ikan air tawar dari Sukabumi. Kenapa mereka saling membutuhkan? Karena setiap wilayah-wilayah berbeda SDA. Itu lah yang disebut Saling melengkapi kebutuhan.' Apa yang kalian rasakan? Yang pasti kalian akan berkata bener juga ya, oh iya juga, oh jadi kaya saling menutupi kekurangan gitu dan sebagainya."

"Perubahannya hanya sedikit. Tapi cara berpikir murid akan meningkat. Mereka akan berpikir contoh nyatanya terlebih dahulu setelah itu baru definisnya. Sebenarnya di dalam buku paket pun sudah ada pendekatan induktif. Tetapi kebanyakan tidak ada contoh nyata di awal. Hanya teori-definisi."

"Itu lah jawaban yang saya sampaikan. Kesimpulannya. Generasi sekarang tidak suka membaca karena bukunya itu emang males dibaca. Cara mengatasinya adalah Ubah dari pendekatan top-down menjadi pendekatan bottom-up. Atau simpelnya ubah cara buku yang asalnya menghapal tetapi menjadi mengajak berpikir."

Semua bertepuk tangan. Lontaran pujian datang dari segala arah untuk Dafa, termasuk Ibu gurunya. Ia paham sekali pernyataan Dafa karena ia pun dulu merasa seperti itu. Sudah banyak ganti kurikulum. Tapi buku paketnya sama saja. Tetap ada yang kurang. Tidak seru.

Tanggapan Dafa? Heran, ia seharusnya tidak mendapat pujian. Karena pernyataan yang ia lontarkan hanya pendapat pribadi. Tidak ada data dan fakta yang sebenarnya. Wajahnya terlihat datar. Hati nya tak ada perasaan. Baru kali ini ia dipuji setinggi angkasa. Tapi Dafa tak pernah bangga. Karena ia tahu, suatu saat ia akan dihina sedalam samudra.

 

Lanjut Chapter 2

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Chapter 1 : Hari Pertama!

LINK Karya Novel