Chapter 1 : Hari Pertama!

"Kejadian hari ini mungkin terasa menyebalkan. Tetapi suatu saat, ia akan berubah menjadi kenangan tak terlupakan."

-Novel Suramnya Cahaya

 

PAGI menyapu malam. Mentari bangun dari tidurnya. Menyinari harapan dan impian semua orang. Jalan riang oleh kesibukan. Aspal hitam terinjak oleh kendaraan. Lampu lalu lintas sibuk mengatur ketertiban. Semua bekerja sesuai pekerjaannya.

Di sisinya, terlihat seorang bocah baru SMP sedang menyusuri trotoar. Memakai tas merek eiger yang kw dan tak lupa sepatu tempurnya. Namanya adalah Aji. Ia sedang berjalan kaki dengan kecepatan secepat kura-kura. Ini hari pertama ke sekolah barunya—SMP Negeri 1 Pondok Besar.

5 menit telah berlalu. Aji telah tiba di depan perumahan elit di kota ini. Terpampang jelas nama’ Protannila Village’ di gerbang besarnya.

“Mau ke mana, Dek?” Pak Sekuriti itu bertanya, sembari menghalangi gerbang yang akan dimasuki oleh Aji

“Mau ke blok C 10, Pak. Itu rumah temen saya. Namanya Wildan,” Aji memperlihatkan telepon genggamnya kepada Pak Sekuriti itu, agar Pak Sekuriti percaya bahwa ia benar-benar temannya.

 Tanpa basa basi. Pak Sekuriti itu langsung mengambil dan membaca Pesan Aji bersama Wildan. “Hah? Woi Yayan lu di mana? Nama bapa kok Yayan! Itu nama orang atau nama makanan? Bubur ayam! Hahaha! (Emot batu). Pesan apaan nih dek?”

“Eh. Eh. Ituu—" Aji menahan malu. Ia lupa menghapus pesan kemarin saat mengobrol dengan Wildan. Mampuslah kau Aji!

Pihak sekuriti mengembalikan telepon genggamnya, “Ya udah silahkan masuk,” Pak sekuriti mempersilahkan. “Yayan itu baju yah dek! Bukan makanan. Soalnya Pak Yayan. Pakiaian. Pakaian. Hihihi!” Canda Pak sekuriti, dengan andalan para gen boomer.

“Iy. iya. baik. Pak. Ma. Ma-ka. Ma-ka-sih ya pak,” Aji pun berjalan memasuki gerbang, menuju rumah Wildan, sembari tersenyum misterius. Mamam lu Wildan! gua udah ada ledekan baru buat lu hahaha!

Setelah berjalan cukup bentar. Akhirnya, Aji sampai di depan rumah Wildan. Ia langsung berkaca-kaca kagum melihatnya. Terpesona. Aji terpesona. Memandang-memandang rumah ini yang luas. Bentuk rumahnya minimalis nan megah. Lantainya marmer mengkilau. Dihiasi lampu yang menambah keindahannya. Rumah Wildan berbentuk kotak. Bukan bentuk kotak yang kayak kamar kos. Tetapi kotak, kotak, dan kotak lagi. Bertumpuk. Jika masih bingung. Ketiklah di google, ‘Rumah modern.’ Itulah bentuk rumah Wildan yang dilihat Aji sekarang.

"Wildan!"

"Wildan!"

"Wildan!"

"Wildan!"

            Aji memanggil Wildan. Tak ada yang menyaut. Rumahnya seperti tak ada kehidupan. Padahal Wildan sudah menyuruhnya kemarin di pesan—sebelum tragedi Bapak Yayan.

"WILDANNN!"  Aji sudah kesal karena tidak ada jawaban. Matanya memerah. Amarahnya memuncak. Jigongnya pun ikut muncrat.

Wildan yang sadar rumahnya terkena jigong naga langsung membuka jendela lantai 2 nya. Yang pasti dengan perasaan yang tidak senang, "Berisik, Idiot!" Wildan membenarkan handuk yang mengikat perutnya, "Gua lagi pake baju. Diem dulu napa! Ya kali gua keluar bugil-bugil, idiot!" Wildan pun menutup jendelanya lagi.

"Yee... makanya jawab, dodol!" Aji pun berbalik badan dari rumah Wildan. Ia melihat dengan mata terpesona kemegahan dan keindahan perumahan ini, Lingkungan Wildan. Pohon rindang sejuk bertebar di segala sisi. Selokan besar anti-macet. Dan yang membuatnya kagum sudah pasti rumah di sekitarnya. Semua megah. Semua mewah. Tak ada yang terbuat dari kayu, semuanya memakai beton.

 Aji pun meratapi nasibnya. Ia tinggal di rumah kayu yang berdekatan dekat bantaran sungai yang sangat tidak enak dilihat, tidak nyaman dihirup, dan tidak layak dipakai. Sungai tercemar. Jalannya pun rusak serusak hidupnya. Malang sekali hidup Aji ini sebenarnya. Lahir di keluarga yang kurang mampu. Tinggal di lingkungan yang tidak nyaman. Tetapi hebatnya, ia bermental besi yang digabung baja. Kuat. Sesedih-sedihnya Aji. Ia tak pernah open donation. Apalagi harus mandi lumpur demi digive paus. Tak sudi!

Ngeeng...ngeengg...ngeenggggg

Terdengar suara motor didekatnya. Aji menoleh ke kebelakang. Ngeeng...ngeengg...ngeenggggg. Suaranya ternyata berasal dari rumah Wildan.

"Lah. Kok gak pake mobil, Dan?"

"Mobil gua lagi dipake sama bokap. Kalau pun ada. Emang siapa yang mau nyetirin? Elu?"

"Ayo aja gua mah. Paling penyok dikit ga ngaruh, hehe." Aji menyepelekan, mukanya nampak tak bisa dipercayakan

Raut wajah Wildan sepertinya berkata, sedikit? Dikit pala bapak kau! Mobil gua dah jadi  rongsokan kalau di pake elu, idiot! 

"Ribet banget lu, udah naik aja nih motor apa susahnya."

"Motor Supra ini? Rumah elit kok motor sulit," Sindir Aji.

"Kalau ga mau ya udah, miskin kok banyak gaya bet!" Kesal Wildan. Perkataan ia nampak menusuk kepada Aji.

Aji pun naik dengan perasaan campur aduk. Betul kata Wildan, miskin kok banyak gaya bet!

****

 JALAN melukis impian, langit mewarnai harapan, mentari menyinari tujuan. Aji duduk di motornya Wildan. Ia terpesona melihat megah dan mewahnya Pusat Ibukota ini. Gedung pencakar langit, hotel bintang lima, pusat perbelanjaan raksasa, stadion luas, dan macet panjang. Tidak. Aji benci kemacetan. Ia malas sekali kalau sudah berhadapan dengan kemacetan.

10 menit berlalu ditemani oleh kemacetan yang panjangnya sepanjang benda kuning yang keluar dari lubang misterius milik Aji tadi pagi. Wildan membelokkan motornya ke jalan yang lebih kecil. Jalan tikus. Sudah pasti ia menghindari polisi tukang jumpscary itu. Jika mereka bertemu dengan polisi dan  motornya dibawa, mereka berangkat naik apa? Naik anjing?

Jika tadi Aji terpesona melihat megah dan mewahnya gedung pencakar langit, sekarang ia tampak prihatin melihat kumuh dan kusamnya rumah-rumah disini. 11 12 dengan tempat tinggalnya. Tetapi yang ini membuat ia sangat kaget,  ternyata di pusat ibukota pun masih ada kesenjangan sosial seperti ini.

20 menit berlalu, akhirnya mereka sampai disekolahnya. Motornya? Wildan titipkan pada teman bapaknya, kebetulan ia dekat dengan sekolahnya. Tak mungkin ia titip di sekolah. Ia belum cukup umur.

Gerbang sekolah terbuka menyambut, pepohonan riang menyapa, plang bertuliskan ’SELAMAT DATANG DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA  NEGERI 1 PONDOK BESAR’ mempersilahkan, murid-murid baru bergemuruh riuh oleh kebahagiaan, gua ga nyangka bisa sekolah disini! begitu yang ada dibenak mereka sekarang.

Mereka pun memasuki sekolah ini, taman-taman hijau menyapa hangat, sungai-sungai kecil menyapa riang, para guru menyapa bersemangat. Aji dan Wildan terpukai dengan kemegahan sekolah ini. Mereka jalan menuju lapangan.

"Assalamualaikum. Halo semua siswa-siswi. Selamat datang di SMPN 1 Pondok Besar," Seseorang sedang berpidato memakai mikrofon. Untung speaker-nya tidak beatbox suara kentut macam pengumuman di stasiun kereta. "Hari ini, adalah hari dimana kalian telah memasuki jenjang berikutnya setelah 6 tahun belajar di Sekolah Dasar. Banyak hal yang pasti kalian rasakan berbeda dari Sekolah Dasar. Seperti para guru yang berbeda-beda, mata pelajaran yang berbeda-beda dan tentunya, teman-teman yang berbeda pula." Gemuruh riuh kegirangan para murid membuat seseorang itu berhenti berpidato sejenak.

"Saya harap, kalian semua yang diterima disekolah ini, bisa membawa nama baik sekolah ini, dan mendapat medali yang dapat meningkatkan citra sekolah ini," Cakap seseorang yang sedang berpidato itu, kalimatnya meningkatkan api dan asa para murid baru.

"Cukup sekian dari saya, semoga hal yang saya sampaikan bisa membuat kalian semangat belajar dan membawa sekolah ini lebih baik lagi!" Akhirnya, seseorang itu meletakkan mikrofonnya di meja. Disaat yang bersamaan, para murid baru itu langsung bergemuruh riuh mengukir lapangan, ada yang antusias, ada yang biasa aja, ada yang kebelet ‘eek, ada yang ingin jajan ke kantin, bahkan ada yang pengen buru-buru ke kelas karna panas.

 

****

 

SUASANA kelas sangat riuh oleh asa dan impian dari para siswa baru terbit ini. Beruntungnya, Aji dan Wildan tidak berbeda kelas, hanya berbeda tempat duduk. Wildan duduk di jajaran ke-2. Sedangkan Aji? Sudah pasti ia duduk dibelakang.

"Hey bro, What's up?" Seseorang menyapa Wildan dari arah belakang

"Eh. Eh. Ba. Baik. Lu?"

"I'm fine, bro. Tak usah khawatir. Eh kenalin, my name is Salman, and you?"

"Gua Wil—"

"Hah nama lu Sialman? Aneh bet tuh nama!" Celetukan orang disamping Salman

"No, bro.  SALMAN, S-A-L-M-A-N."

"Ohh... namanya Shit man. Berarti nama lengkapnya Shit man Mother Fucker yah?

"Tau ah! Idiot!" Kesal Salman, Wildan tertawa ter bahak-bahak, Orang disampingnya kebingungan, emang gua salah yah? mungkin begitu pikirnya

Murid bergemuruh riuh mengukir kelas. Melihat lengkapnya benda-benda di kelas. Ada benda aneh bulat berbentuk bola yang didalamnya ada peta dunia. Ada pula benda aneh di atas atap, seperti untuk memutar video bioskop.

Sreeeeet!

Pintu kelas terbuka, seseorang memasuki kelas. Rambutnya beruban putih,. Badannya gempal alias gendut. Memakai baju batik yang entah apa polanya. Ia langsung diam di tengah kelas, seperti akan presentasi

"Halo semua, perkenalkan nama saya Pak Suger. Disini saya menjadi walikelas kalian, salam kenal yah."

Anak-anak langsung menjawab iyaaaa atau siaaap atau bahkan tak peduli

"Oke semua. Hari ini saya akan mengabsen kalian terlebih dahulu. Takutnya ada siswa yang salah masuk kelas. Nanti para OSIS jadi pusing. Oh iya, absennya ini masih belum diurutkan. Jadi mungkin, namanya tidak sesuai abjad" Cakap Pak Suger

"Ezi Lutipkal Sodikin."

Ezi mengangkat tangan

"Januar Riadi Ridwan."

Januar mengangkat tangan, "Hadir, Pak."

"Ramdani Azah."

Ramdani mengangkat tangan juga.

"Salman Zulpansyah."

Salman mengangkat tangan, "I'm here."

"Muhammad Firmansyah."

Firman mengangkat tangan, ternyata orang yang tadi nyeletuk sialman adalah dia

"Dafa Hendarsyah, lah kok..b.nama kalian belakangnya sama-sama -syah? Udah janjian ya pas masih di kandungan?" Canda Pak Idan, semua tertawa, Firman menyeringai lebar, Salman cemberut kesal, Dafa? Bagai Gunung Everest, cool!

Dafa mengangkat tangan, tentunya dengan ekspresi datar

Pak Idan mengabsen dari A sampai Z, setelah itu, ia pergi dari kelas. Disaat yang bersamaan,  datanglah  3 orang berseragam OSIS ke kelas ini.

"Halo semua. Kenalin kita adalah kakak pembimbing kalian yang akan mendampingi kalian sepanjang Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah alias MPLS. Aku bernama Adam Boim. Sebut saja Kak Adam," OSIS itu menunjuk dirinya, haiii kak Adaaammm sapa murid-murid

"Sebelah sini namanya Hanisa Fitri. Sebut saja Kak Hanisa," Sekarang Kak Adam itu menunjuk orang disebelahnya, murid-murid langsung menyapanya dengan haiii kak Hanisaaa

"Kalau yang ini namanya Rishi Putri Diani. Panggil saja Kak Rishi," tunjuk Kak Adam ke sebelah satunya lagi, murid-murid sudah tahu rumusnya dan menyapanya dengan haiii kak Rishiiii.

Kak Adam lalu menjelaskan rentetan kegiatan selama MPLS dari A sampai Z dari Z sampai A lagi. Disaat yang bersamaan, Salman tidak kuat menahan derasnya air kencing yang ingin keluar. Salman ingin ke toilet, tetapi jika ia berbicara, ia akan  menjadi pusat perhatian.

"Hey bro. Aduhh. I want to go the toilet. Tapi, gua malu," keluh Salman kepada teman di sebelahnya, Firman.

"Oh oke oke, santai," Firman langsung mengangkat tangan yang membuat perhatian semua murid tertuju kepada dia. "Kak. Maaf. Temen saya pengen ke toilet. Tapi..." ia langsung menunjuk kak Rishi "Mau ditemenin sama Kak Rishi katanya!"

Sontak kelas langsung heboh, berbagai lontaran kata seperti kiwkiw atau ciecie atau ehem-ehem tertuju pada Salman dan Kak Rishi

Muka Kak Rishi memerah, muka Salman marah-marah, Ah fuck you! Tau gini gua ga minta bantuan lo, ucapnya dalam hati. Tapi nasi sudah menjadi lontong, ia sangat ingin ke toilet, jadi Salman iyakan saja ucapan Firman yang Ngajak fight itu

Disaat kelas penuh oleh kebahagiaan dan keseruan, Aji diam saja, dia sadar diri bahwa ia berbeda dari siswa yang lain .

Hampir semua siswa disini adalah kelas menengah dan kelas atas. Sedangkan Aji? Ia bagaikan seseorang dari kasta dalit di India, terhinakan, kelas rendahan. Jikalau ada siswa di sekolah ini yang terlahir dari keluarga miskin, Aji lah salah satunya.

Sebenarnya Wildan sudah mengajak Aji duduk sebangku dengannya. Tetapi Aji menolak dan memilih duduk di bangku belakang sendirian yang untungnya bersebelahan dengan jendela. Aji menatap mentari menyinari asa, awan membendung kesedihan, dan langit menenangkan pikiran. Sunnguh nyaman sekali.

 

****

 

SALMAN sedang berjalan menuju toilet. Sendirian. Tidak ditemani oleh Kak Rishi, ia berkata sudah tahu jalannya, padahal ia ingin ke toilet sendiri tanpa mengajak siapa pun. Dasar Firman idiot!

Banyak hal yang Salman lihat saat sedang berjalan, pohon-pohon hijau, lapangan besar, laboratorium IPA, lorong lorong kecil dan ia sampai dikantin. Eh kantin? Ia ternyata salah jalan. Celaka! Inilah awal mimpi buruk bagi Salman.

Tiba-tiba ia didatangi oleh kakak kelas dengan wajah mengerikan sekali dan gaya yang menggetarkan nyali. Salman bukan merasa kagum, justru merasa takut.

"Hehh lo dek!  Ngapain lo kesini? Nantang maut? Cakap salah satu kakak kelas itu. Gawat! Salman rupanya terkepung oleh kakak kelas yang sok basis itu.

"Eh. Eh. Nggak, kak. I want to go the canteen," Salman menjelaskan dia ingin ke kantin, padahal awalnya ia akan ke toilet, mungkin karena sedang panik.

"Ooooo... duit ada duit? Kalau ga ada gua tonjok muka lo!"

"Eh. Eh. I don't have money, I'm sorry."

"Ngomong apa lo kampret! Ai don hepmani! aim sori! Lo kira gua ngerti bahasa alien? Oh ya, ga mungkin lo ga punya uang. Buat apa lo ke kantin tapi ga ada uang! Lo berani-beraninya ya nipu gua!" Kakak kelas itu langsung mendekat kepada Salman. Seperti ingin menghajar Salman.

Salman hanya diam tak berkutik. Diri ia mungil, tak mungkin ia ber-fight dengan kakak kelas yang badannya kotak kotak gagah itu.

Sialan! Ternyata berjalan sendirian membuatnya terjebak dalam situasi yang tak diinginkan. Situasi yang tidak diduga-duga. Situasi yang ahh tak bisa dijelaskan. Bagaimana ini?


Link Chapter 2  : https://suramnyacahaya.blogspot.com/2025/05/bab-2-semua-setara.html

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 2 : SEMUA SETARA

LINK Karya Novel