CHAPTER 3 : INGIN BEBAS

 

Bersyukurlah. Apa yang kamu anggap istimewa, tak selalunya istimewa.

-Novel Suramnya Cahaya

 

PELAJARAN Bahasa Indonesia pergi, waktu istirahat menyapa, tapi bel tak kunjung berjoget. Mungkin, ia sedang kelelahan, atau mungkin ia sedang menghapal jogetan barunya? Siapa yang peduli.

            Dalam sekejap, kelas langsung berhamburan bak tepung terigu yang tumpah ruah karena ditiup. Salman menyimpan pulpennya setelah selesai menulis materi. Ia kemudian melirik ke arah Wildan dan Firman. Memikirkan hal yang menyenangkan suasana di hari pertama pembelajaran efektif.

"Hey everyone, mau ga kita main dulu sebentar." 

"Main kemana? Ke Prancis? Parapatan Ciamis?

"You are idiot! Kita main ke rumah siapa gitu."

"Rumah Wildan aja, katanya dia rumahnya sebesar rumah gua di masa depan." Firman sombong. Semua tertawa terbahak-bahak. Tinggi sekali mimpi Firman, awas jatoh!

"So… gimana, Wildan?"

"Eh. Eh. Ayo aja. Ajakin Aji sekalian."

"What? Emang Aji kemana ga sekolah."

"Dah pasti ke warnet dia, dari dulu kalau telat sekolahnya di warnet." Semua tertawa lagi. Kelas itu diwarnai oleh riang cekikikan.

Salman yang dari tadi tertawa. Melihat ke belakang bangkunya. Gawat! Tas nya hilang. Ia pun melirik ke sana ke mari. Tak ketemu. Aduh bagaimana ini? Tas Salman yang berwarna hitam elegan dengan atribut setan merah.

"Eh. Where is my bag? Tadi ada disitu? Kok hilang?"

"Emang apa tas lu?"

"Yang ada logo Manchester United."

"Tuh ada dibawah." Tunjuk Firman, Salman tanpa basa basi langsung melihat ke bawah. Kok ga ada? Hanya ada secarik kertas bekas dan beberapa pulpen yang isinya sudah kosong melempong.

"Di bawah Newcastle, HAHAHA!" Firman tertawa, Wildan pun tertawa, Salman cemberut. Sial! Dia meledek klub kebanggaannya yang makin hari makin meningkat—lawakannya.

Salman pun malas meladeni Firman. Dasar Firman Idiot! Ia terus melirik Dafa. Tapi ia tak tahu bagaimana cara memulai percakapan dengannya. Ia langsung berpikir matang-matang bak jendral memikirkan strategi perang. Aha! Ia tahu! Basa-basi saja dengan Dafa dengan berpura-pura mengajaknya bermain. Sudah pasti ia akan menolak ajakan Salman.

"Emmm... Dafa. Mau ikut ga main sama kita? In home Wildan."

Dafa melihat datar. Tatapannya tak berekspresi. Matanya bulat tak berbinar-binar. "Ayo aja kalau diajak." Ia menerima ajakannya. Mustahil! Anak sepintar ini bergaul dengan 3 orang buruk akal. Sungguh keajaiban dunia. Lebih Ajaib daripada  1000 candi yang dibangun dalam tempo semalam

"Oh iya, ngomong-ngomong soal tas. Ini ada di bawah mejaku. Soalnya kalau diatas ga cocok. Peringkatnya dibawah. Masa ditaruhnya diatas?” Canda Dafa,  semua tertawa lagi. Salman? Sudah pasti cemberut. Anak sepintar ini pun bisa bercanda rupanya. Tetapi candaannya bagai cabe merah yang sangat pedas. Menusuk hati dan klub kesayangannya.

 

**

SEKOLAH dipulangkan lebih cepat. Rapat menyelamatkan hidup mereka. Waktu main jadi lebih lama. Waktu bersenang-senang jadi lebih panjang.

Mereka berempat menaiki mobil bermerek Bentley yang dilumuri warna hitam milik Wildan. Mobil yang sangat mewah. Tapi kalau diingat-ingat, Aji pernah menyindirnya dengan mobil elit kok motor sulit.

Wildan bersebelahan dengan Firman, Salman bersebelahan dengan Dafa. Bukan karena tidak sengaja. Tetapi Salman lah yang mengajak bersebalahan dengannya. Ia males dengan Firman yang selalu meledeknya. Terlebih lagi tragedi sialman saat MPLS. Makin malas lah ia berteman dengannya

Mobil menyusuri jalanan yang macet. Tetapi itu hal yang umrah di Pusat Ibu Kota. Tiada hari tanpa macet. Kalau ada hari yang tidak macet. Berarti bukan di Pusat Ibukota.

Salman terlihat bosan sekali. Ia menoleh ke jendela mobil. Gedung pencakar langit yang menembus atmosfer. Ya, melihat tanpa rasa kagum. Tidak seperti Aji, melihat sehelai Gedung itu saja. Tantrumnya sudah setengah mati.

Salman menoleh ke Dafa. Dengan rasa yang berbeda. Bukan rasa pelangi yang harus dimusnahkan, tetapi rasa kagum yang amat mengagumkan. Manusia yang otaknya macam ChatGPT ada di sebelahnya. Ia teringat perkataan Dafa yang menekan pentingnya literasi saat sesi tanya jawab pelajaran Bahasa Indonesia.

"Eh... ngomong-ngomong Dafa. Apa pentingnya literasi itu. Emang so important banget?"

            Dafa menoleh dengan ciri khasnya, senyuman misterius.  “Sangat penting. Karena bangsa yang rendah dalam literasi, akan selalu rendah dalam peradaban." Dafa menjawabnya dengan elegan, layaknya qoutes di aplikasi titkok.

Salman langsung terpukau dengan perkataanya. Ucapan yang dilontarkan Dafa sangat sesuai dengan keadaan negara ini. Rendah dalam apapun. Apalagi peringkat pendidikannya juga rendah. Tidak seperti Singapura yang bisa berbicara di kancah dunia.

 

**

 

MENTARI sempurna di atap dunia. Akhirnya sampai. Rumah mewah nan megah milik Wildan. Pintu dibuka. Semua terpesona. Disuguhkan oleh besarnya ruangan. Televisi besar menghias  bagian kiri. Sofa minimalis yang harganya wadidaw melukis bagian tengah. Tidak lupa, karpet merah di antara sofa itu. Dinding putih mewarnai seluruh ruangan. Membuatnya elegan dan futuristik.

Mereka sampai di kamar Wildan, terletak di lantai 2 paling ujung. Kamarnya besar sebesar pesona mereka sebelumnya. Mereka langsung duduk di karpet yang bergambar abstrak. Salman terpesona melihat megahnya rumah Wildan. Firman terpesona melihat pemandangan luar dari jendela yang mengkilau. Dafa? Ia tak peduli dengan keadaan. Ia langsung membawa buku dari rak dekat kasur itu. Mengambil novel laut bercerita. Sebenarnya Dafa punya. Tetapi yang ini memakai hard cover. Ia langsung mencari dimana terakhir kali ia membaca. Ketemu! Bagian aktivis yang disiksa setelah aksi Blangguan. Tanpa basa-basi. Ia membacanya dengan fokus.

Meskipun Dafa tergolong masih kecil. Tetapi ia selalu membaca buku yang berlawanan dengan umurnya. Ia makan buku-buku berat macam Madilog, Pendidikan Kaum Tertindas, Laut Bercerita, dan beberapa buku lainnya yang tergolong berat. Entah apa yang disukai dari buku itu. Tetapi ia selalu membacanya dengan sepenuh hati. Tak peduli dengan bahasa yang bikin muntah 7 hari 7 malam. Mungkin ia keturunan Tan Malaka. Jadi sifatnya sedikit revolusioner dan cukup berani. Tetapi itu mustahil, toh Tan Malaka tak pernah menikah. Jikalau ia menikah. Dafa tak akan ada di zaman sekarang. Ya kali lahirnya tahun 19, SMP-nya di tahun 20.

"Weiii... lu baca apa? Ceritain apa? Very fun?" Salman yang selesai melihat kemegahan itu langsung melirik Dafa yang sedang membaca buku bersampul pemandangan laut.

“Oh, ini? Menceritakan aktivis yang memperjuangkan  reformasi agar Indonesia tidak dikuasai oleh 1 kelompok pada saat rezim Suharto. Tapi sayang, ia malah ditangkap paksa, disiksa, dan ditenggelamkan sampai ajal menyita.” Dafa menjelaskan dengan nada yang menakutkan layaknya orang menceritakan hantu pada saat kemah.

Salman langsung melotot bin takut pada saat mendengarnya. Disiksa? Apakah semengerikan itu zaman Suharto? Zaman yang selalu dicap ‘Enak jamanku toh’ ternyata berbanding terbalik dengan kenyatannya.

“Wei… nanti Aji sebentar lagi kesini. Gua dah WA katanya OTW.” Wildan memecah suasana yang kelam. Merubah gelap menjadi terang. Menghapus ketakutan menjadi keseruan. Aji akan datang. Bocah sok jagoan itu akan menemani sepanjang mereka bermain di rumah Wildan. Syukurlah.

Tringg!

Ponsel mereka serentak mengeluarkan bunyi yang menandakan ada sesuatu penting di grup sekolahnya. Mereka langsung mengambilnya. Dan benar, ada pesan dari grup sekolah. Mereka langsung membaca pesan yang disampaikan oleh Pak Suger.

“Assalamu‘alaikum murid-murid yang bapak sayangi dan bapak cintai (kecuali laki-laki). Minggu depan, akan diadakan kemah bersama di gunung untuk memperayakan kegiatan MPLS yang sudah dilaksanakan. Jadi, mohon semua siswa atau siswi mengikuti kegiatan kemah ini.”

“Baik Pak, terimakasih.”

“Baik Pak.”

“Gaskeun Pak.”

“Info uji nyalinya dimana ya pak?”

“Laksanakan, jendral (Emot hormat).”

“Pak ada pasar gak disana?”

Aji mengetik…

            Pesan dihapus

            “GJ, Aji.”

            “Otw kesana, Dan.”

            “Ke mana? Ke gunung?”

            “Ke hatimu, Ra.”

            “HUWEKKK!”

Naura keluar

            “(Emot sedih tapi suka dinggap ketawa).”

            Mereka pun menyimpan ponselnya. Mentari singgah di atap dunia. Teriknya menembus jendela berkilau di rumah Wildan. Membentuk sinar kuning yang memesona.

“Wih… kalian mau ikut gak kemah?”

“Hayu aja, biar bisa kasih royco ke mulutmu pas tidur.”

Tertawa. Salman cemberut. Dasar Firman Idiot!

“Lu ikut ga, Dafa? Camping.”

“Aku ikut aja. Lagi pun gabut di rumah juga.”

Nicee… Kalau lu ikut gak, Wildan”

Wildan tidak menjawab. Raut wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu. Ada apa dengan Wildan. Mengapa ia tidak menjawab?

“Eee… sebentar. Gua mau ke bokap dulu.” Wildan langsung beranjak berdiri dan menuju ke pintu. Membuka. Ditutup lagi. Salman, Dafa, dan Firman saling tatap. Ada apa dengannya?

Wildan menuruni tangga yang mewah itu. Bokapnya ada di dapur. Ibunya sedang memasak ayam yang membuat perut bergetar hebat. Ayahnya sedang bekerja. Kerja memakai laptop. Sepertinya menemani Ibu yang sedang memasak sembari bekerja.

“Eee… ayah.”

Ayahnya menoleh. Mengangguk. Memberi isyarat untuk melanjutkan.

“Bolehkah aku ikut kemah di seko—”

“TIDAK!”

Ayahnya mendekati Wildan.

“Kamu tahu gak berkemah itu? Tinggal di alam. Kalau kamu kenapa-napa siapa yang mau nolongin?”

“Tapi ayah. Ini kan acara seko—”

“TIDAK!”

“Kamu ini orang kaya. Ngapain ikut kemah murahan itu. Kamu bisa kemah di Gunung Himalaya kalau mau Ditemenin sama profesional. Sedangkan disitu? Apa yang kamu dapat? Cuma cape tau gak!”

“Tapi ayah. Itu kan sama tem—”

“BAPAK TETAP GAK IZININ!”

“Di situ kamu cuma main gak jelas. Apa tujuan kamu ha? Lebih baik sendiri sama professional. Kamu bakal mudah. Disana? Kamu bakal susah. Nanti dingin. Hipotermia. Terus mati? Siapa yang repot?”

Aji terdiam. Diam yang tidak bisa diartikan. Ibunya hanya melihat. Tak berani bersuara. Sebenarnya ia mendukung Wildan, tetapi kalau ayahnya tidak mengizinkan? Apa boleh buat. Suaranya mungkin hanya dinggap angin belaka.

Aji lantas pergi dari dapur. Langsung menuju kamar mandi. Ia menumpahkan tangisnya seketika. Dendam berkibar di hatinya. Sesal mengurung dirinya. Hujan di luar langsung turun. Membasahi rumahnya sebasah perasannya sekarang. Ia tak bisa berkata satu kata pun. Dari dulu, ia selalu dikurung oleh eputusan ayahnya. Gak boleh! Gak boleh! Semuanya gak boleh! Kapan ia bisa diperbolehkan.

Dari kecil, ia selalu seperti ini. Saat SD-nya mengadakan renang bersama di salah satu kolam renang. Ayahnya tidak mengizinkan dan berkata itu gak guna. ‘Kalau kamu tenggelam, ga ada yang selamatin kamu. Terus kamu mati. Siapa yang repot?’ Begitulah perkataan yang masih menyelimuti pikirannya saat SD.

Wildan tidak ingin kaya, Wildan ingin miskin, lebih tepatnya sederhana. Ia tak suka jika ia menjadi orang kaya. Meski teman-temannya iri dengannya karena terlalu kaya. Wildan malah merasa iri dengan temn-temannya yang sederhana.  Buat apa ia kaya, jikalau kekayannya menggenggam erat tubuhnya untuk menjalankan aktivitas yang menyenangkan.

Kehidupan orang kaya baginya membosankan. Pergi ke luar negeri. Bermain dengan orang yang setara kekayaannya. Bermain di rumah yang megah sepuasnya. Sebenarnya ini tidaklah membosankan. Tetapi ban yang bocor jika dipompa tetaplah bocor. Ia memiliki semuanya. Tetapi apa yang membuatnya mempunyai satu lubang yang terus membuatnya membosankan? Ya, ia tidak punya kebebasan.

Itulah mengapa Wildan suka bermain dengan Aji. Meski ia terlahir dikeluarga miskin. Karakternya membuat Wildan si orang kaya merasa Bahagia. Wildan tak suka bermain dengan orang yang setara kekayaannya. Menurutnya, mereka sangat membosankan. Membicarakan tentang bisnis, kekayaan, dan lainnya yang sangat bosan.

Wildan terus menumpah ruahkan kesedihannya. Jika orang lain penjaranya adalah jeruji besi. Maka, penjaranya Wildan adalah kekayaannya sendiri.

 

Episode 4 Coming Soon : Apakah Bebas?

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Chapter 1 : Hari Pertama!

CHAPTER 2 : SEMUA SETARA

LINK Karya Novel